Malam itu seorang bapak mendapat laporan bahwa anaknya—yang masih SMP—terlihat sedang merokok di warung saya. Tanpa mengulur waktu, sang bapak segera beranjak ke warung saya. Tepat, si anak sedang mengisap rokoknya ketika bapaknya tiba. Si anak segera membuang rokoknya tanpa dititah; sang bapak memarahinya serta memperingatkan beberapa temannya, kemudian menyuruh mereka pulang.
Tidak langsung pulang menggiring anaknya, si bapak malah memanggil saya yang sejak tadi menyimak dari dalam warung.
"Bapakmu ada?" tanya bapak itu.
"Nggak ada, lagi keluar. Kenapa?" jawab saya berlagak pilon.
"Yaudah, saya mau ngomong sama kamu aja. Kamu udah dewasa, kan? Udah kuliah, kan?"
Saya siap menyimak.
"Kamu ini bagaimana, sih?" bapak itu mengawali dongengnya dengan tegas. "Anak-anak masih di bawah umur begitu, merokok, kok, nggak dilarang? Mereka ini generasi calon penerus bangsa. Apa jadinya negara ini nanti jika anak-anak di bawah umur sudah dibiarkan merokok!?"
Yaa.. bisa dibilang bapak itu memang rada-rada kelas menengah ke atas gitu, dah.
"Kamu sebagai yang berpendidikan harusnya tau itu. Dan sebagai pedagang kamu tidak boleh menjual rokok ke anak di bawah umur. Itu ada pasalnya, lho. Bisa diperiksa kamu kalau saya laporkan."
Sumpah, saya nahan tawa. Ngelindur kayaknya, nih, si bapak.
"Sekarang saya pesan aja, nih, sama kamu. Lain kali, jangan jual rokok lagi ke anak di bawah umur, terutama anak saya. Saya minta sama kamu, awasi dia."
Lucu nggak? Sebenarnya dia ngoceh banyak, tapi muter itu-itu terus. Setelah dia berhenti ngoceh, barulah saya bersuara.
"Jadi begini, Pak. Oh iya, silakan duduk dulu, Pak, biar enak ngobrolnya." Sengaja dari tadi saya nggak suruh duduk.
"Mau jawab apa kamu?" saut bapak itu—masih secara tegas—sembari duduk.
"Sebenarnya anak bapak udah lama merokok. Dari dia masih grogi beli rokok di sini, sampai tengil banget gaya merokoknya di sini. Kenapa dia beli rokok saya biarin gitu aja? Karena saya tau, awalnya dia memang udah sering disuruh beliin rokok sama bapaknya. Bapak mengakui itu, kan?"
Si bapak hanya terdiam.
"Dan pertama kali dia merokok di sini, itu kami usir, Pak. Kami nggak kasih mereka nongkrong di sini sambil merokok, juga kami nggak jual lagi rokok ke mereka. Dan namanya bocah umur sedang bandel-bandelnya, mereka terus aja mencoba nongkrong di sini sambil merokok yang kami nggak tau mereka beli dimana. Kami capek juga, Pak, ngebilanginnya. Sampai kami bodo amat."
Bapak itu terlihat mulai mengendur ketegangannya.
"Dan daripada kami cuma ketumpuan berisiknya mereka nongkrong di sini sedangkan jajanannya entah dari warung mana, maka kami biarinlah mereka beli rokok di sini lagi, itupun setelah mereka beralasan orang tua mereka sudah tau mereka merokok."
"Saya baru tau sekarang," saut bapak itu lemas.
"Dan perihal Bapak meminta saya mengawasi mereka," lanjut saya, "itu sudah bukan urusan kami, Pak, karena Bapak udah tau dan Bapak adalah orang tuanya, anak itu tanggung jawab Bapak. Bapak mau laporin kami ke polisi pun, Bapaklah yang akan lebih dulu diperiksa, kemana aja orang tuanya selama ini?"
Si bapak kayaknya matanya basah, dah.
"Bapak sendiri masih merokok, kan, Pak? Saya nggak merokok, Pak, padahal di rumah saya banyak rokok. Karena orang tua saya nggak pernah contoh-contohin merokok. Sebelum memandang itu anak sebagai generasi penerus bangsa, apa yang Bapak harapkan dari dia sebagai anak Bapak? Dan bagaimana Bapak mendidiknya sampai bisa kecolongan kayak gini?"
Eh, bener, air matanya netes.
"Benar kamu, Mas," jawab bapak itu. "Selama ini saya terlalu sibuk bekerja, begitu juga istri saya, hanya demi memanjakan anak saya. Karena dulu, waktu saya kecil, hidup saya susah. Saya minta jajan, orang tua saya tidak punya uang. Makanya saya kerja keras, saya tidak mau anak saya merasakan susah kayak saya dulu. Ternyata saya salah, terlalu memanjakan justru membuat pergaulannya tidak terkontrol."
Udahlah, ya, nggak perlu saya tulis semua curhatan bapak itu. Klise, sama aja kayak di sinetron-sinetron azab.
"Yaudah, gitu aja, ya, Mas," tutup si bapak. "Saya minta maaf dan terima kasih banyak. Saya udah emosi duluan tadi. Sekali lagi, maaf, ya, Mas."
"Yup, sama-sama, Pak," sambar saya balas tengil kayak anaknya.
Ji elbatawi
Jakarta, Desember 2020
Komentar
Posting Komentar