Itu perkataan guru gua beberapa hari lalu. Maksudnya lebih kepada "Jangan kayak orang Soleh." Iya, cuma "kayak". Zhohirnya aja yang kelihatan soleh, sedangkan sikap kesehariannya masih... ya gitu dah. Jatuhnya jadi seperti menjual agama demi dunia.
Gua mau cerita sedikit yang berhubungan dengan itu.
Gua bekerja di salah satu jasa pelayanan pembayaran tagihan-tagihan online. Bulan Mei lalu, ada pelanggan yang datang dengan penampilan rapih; baju koko, sarung serta peci. Setelah gua kasih tau total tagihannya, ternyata uangnya kurang. Dia minta tolong di-submit dulu dan nanti dia balik lagi bawa uang kekurangannya. Gua tidak menyanggupinya, bukan karena tidak percaya atau takut nombok, tapi lebih kepada mengikuti prosedur. Kekurangannya cuma 200 ribuan sebenarnya.
Dan dia baru kembali keesokan harinya untuk menyelesaikan pembayarannya.
Bulan berikutnya, Juni, dia datang lagi tetap dengan penampilannya yang rapih itu. Lagi, uang yang dia bawa kurang untuk pembayaran. Dia segera pulang untuk mengambil uang kekurangannya, sedangkan gua udah terlanjur men-submit pembayarannya, sehingga saldo di sistem gua sudah terpotong.
Jujur, saat itu gua gak ada rasa kekhawatiran sama sekali. Gua percaya, gua yakin dia pasti balik lagi.
Sampai seminggu berlalu dia belum juga balik. Gua terpaksa nombokin dulu tagihannya sebanyak 1 jutaan, karena udah waktunya buat gua setoran. Batin gua masih tenang, masih berusaha husnuzhon. Mungkin setelah gajian dia baru balik lagi.
Damn! Nyatanya sampai 3 bulan dia belum juga balik ke tempat gua. Saat itu gua udah hampir lupa sebenarnya, atau bahkan udah ikhlas (gua gak ngerti bab ikhlas), meskipun struk pembayarannya masih tersimpan di tumpukan paling bawah arsip gua.
Selama 3 bulan itu gua cuma berpikir... mungkin ini teguran buat gua karena akhir-akhir ini gua jarang sedekah, atau bahkan ini hukuman buat gua atas dosa-dosa gua. Sehingga gua gak berusaha mencari kontak atau rumahnya, yang mana kemungkinan rumahnya gak jauh dari tempat kerja gua itu.
Selesai.
Tapi November, ternyata dia datang lagi. Tetap dengan penampilannya yang rapih. Selang waktu antara dia memarkirkan motornya sampai dia tepat berdiri di hadapan gua, gak cukup buat gua untuk memutuskan harus bertindak bagaimana. Jadinya gua hanya melayaninya seperti pelanggan pada umumnya.
Kebiasaannya masih sama. Uangnya kurang lagi dan pulang dulu untuk mengambilnya. Setelah itulah otak gua langsung mikir keras, harus gua apain orang ini sekembalinya nanti.
Akhirnya gua berencana mengambil uang tagihan dia bulan ini tanpa men-submit-nya di sistem sebagai bentuk ancaman sembari menjelaskan kejadian 5 bulan lalu.
Jahat banget kayaknya gua. Beruntung orang itu tidak kembali lagi pada hari yang sama. Di rumah, otak gua belum bisa berhenti berpikir apa yang sebaiknya gua lakukan kalau orang itu balik lagi. Hingga hasil cara yang lebih halus. Yakni gua akan tetap melayaninya seperti pelanggan umumnya dan kemudian gua jelaskan kejadian 5 bulan lalu itu hanya untuk sekadar memberi tau. Perkara dia akan menggantinya atau tidak atau bahkan tidak akan kembali lagi ke tempat saya, itu sudah bukan urusan saya, karena 2 bulan lalu sesungguhnya saya sudah lupa.
Dan esok pun tiba. Benar, dia kembali lagi untuk menyelesaikan pembayarannya serta tetap dengan penampilannya yang rapih; baju koko, sarung dan peci. Dan apa yang akhirnya gua lakukan?
Akhirnya gua gak ngomong apa-apa selain kalimat-kalimat pertransaksian seperti biasanya.
Bego!
Tapi kok setelah dia menghilang dari pandangan dada ini justru merasa lega? Apa ini wujud ikhlas yang sesungguhnya? Sekali lagi gua ingatkan, sumpah, gua gak ngerti bab ikhlas.
Jakarta, 4 November 2020
Dan pikiran gua jadi lebih tenang lagi setelah menyelesaikan tulisan ini. Sebelumnya memang gua belum pernah menceritakan ini kepada siapapun.
Benar kata guru gua, jangan soleh-soleh banget dari segi penampilan. Nyatanya sadar gak sadar kita masih sering merugikan orang lain. Akhirnya malah reputasi "penampilan" kita yang direndahkan.
Ji elbatawi
Jakarta, November 2020
Komentar
Posting Komentar